Indonesia Menghadapi Deindustrialisasi: Waspadai Peningkatan Pengangguran dan Kemiskinan

Indonesia Menghadapi Deindustrialisasi: Waspadai Peningkatan Pengangguran dan Kemiskinan

Indonesia Menghadapi Deindustrialisasi: Waspadai Peningkatan Pengangguran dan Kemiskinan

Taruhan bola – Indonesia saat ini sedang menghadapi deindustrialisasi. Penurunan drastis di sektor industri atau manufaktur ini terlihat dari penutupan sejumlah pabrik dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang meluas di seluruh negeri.
Padahal, sektor industri, investasi, dan ekspor memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Jika hal ini tidak segera diatasi, maka berpotensi menimbulkan dampak negatif, seperti meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan, yang pada gilirannya dapat menimbulkan berbagai masalah sosial lainnya.
Hal tersebut mengemuka dalam Kuliah Khusus Ramadhan “Refleksi dan Solusi” bertajuk “Liberalisasi Perdagangan, Celah Impor, dan Dampak Deindustrialisasi,” yang diselenggarakan pada Jumat (21/3) dan ditayangkan secara daring melalui YouTube UGM.
Kuliah yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar UGM ini menghadirkan sejumlah pembicara, antara lain Utusan Khusus Presiden untuk Perdagangan dan Kerja Sama Internasional, Mari Elka Pangestu, anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory Yus uf, ekonom dan Rektor Universitas Paramadina Didik Junaidi Rachbini, dan peneliti ISEAS Singapura Yanuar Nugroho.

Pangestu menjelaskan bahwa Indonesia saat ini tengah menghadapi dampak dari dinamika ekonomi global yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi nasional.
Oleh karena itu, penyesuaian strategi dan kebijakan ekonomi diperlukan untuk menangkal dampak tersebut.
“Perubahan global sedang terjadi, yang memerlukan penyesuaian kebijakan di tingkat nasional,” kata Pangestu.

Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2011-2014) ini mengatakan bahwa ekonomi Indonesia relatif lebih kuat dibandingkan dengan negara lain.
Ia menyebutkan beberapa peristiwa global yang mempengaruhi perekonomian, seperti perang di Timur Tengah, konflik Rusia-Ukraina, dan ketegangan di Laut China Selatan.
Bahkan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat turut memicu perang dagang dan peningkatan beban tarif.

“Pertumbuhan ekonomi di AS terganggu, dan inflasi akan lebih tinggi karena kenaikan tarif, akibatnya yang akan mengakibatkan kenaikan suku bunga,” jelasnya.
Menurutnya, situasi ini membatasi instrumen yang tersedia untuk menstimulasi pertumbuhan, sementara efisiensi dan realokasi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan semakin membatasi ruang stimulus.
Namun, ia menunjukkan bahwa pelemahan ekonomi di AS dapat memberikan peluang untuk relokasi investasi.

Agar hal itu bisa terjadi, diperlukan upaya untuk memperkuat ekonomi dan mencapai tingkat pertumbuhan 6-7%, seperti menggenjot ekspor dan memperkuat kerja sama dengan negara lain.
“Kita butuh pertumbuhan ekonomi 6% atau 7%. Negara juga harus menghindari gejolak dan menjaga kepercayaan untuk mencegah kerentanan terhadap arus modal keluar dan menjaga iklim usaha yang kondusif,” katanya.

Arief Anshory Yusuf menilai deindustrialisasi sedang menghampiri Indonesia. Menurunnya sektor industri atau manufaktur, katanya, mencerminkan transformasi struktural dan merupakan salah satu karakteristik dari ekonomi yang sedang tumbuh – yang awalnya berpusat pada pertanian, berpindah ke industri berskala besar dan akhirnya berfokus pada jasa.
“Deindustrialisasi adalah hal yang wajar, tetapi bisa menjadi masalah ketika terjadi secara prematur,” ujar dosen Universitas Padjajaran ini.

Masalah muncul ketika tidak ada momentum untuk pertumbuhan yang lebih tinggi. Dari sisi pendapatan, Indonesia masih dalam posisi untuk melakukan industrialisasi, tetapi dari sisi tenaga kerja, negara ini hampir kehilangan momentum tersebut.
Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya kesempatan kerja.

Sebagai contoh, jika program hilirisasi berfokus pada sektor-sektor yang padat sumber daya, hal ini dapat menjadi jebakan bagi penurunan penyerapan tenaga kerja.
“Hal ini menjadi berbahaya ketika tenaga kerja masuk ke sektor-sektor yang stagnan, yang mengakibatkan meningkatnya persaingan dan berkurangnya pendapatan, terutama di sektor-sektor jasa yang produktivitasnya rendah, yang berujung pada kondisi ekonomi saat ini,” tegasnya.
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi dilema liberalisasi perdagangan dan deindustrialisasi?

Ekonom dan Rektor Universitas Paramadina Didik Junaidi Rachbini menyarankan bahwa pendekatan yang melihat ke luar adalah solusinya.
Ia menunjuk pada model industrialisasi angsa terbang, di mana Jepang memimpin gerakan industrialisasi 40 tahun yang lalu.
Pada saat itu, pendapatan Indonesia lebih tinggi dari Cina.

Namun, hal ini telah berubah, dimana China kini memimpin industri global, bahkan melampaui Indonesia, sementara Vietnam berada di depan Indonesia.
“Kuncinya ada di industri. Meskipun ekonomi tumbuh 8%, tetapi sektor industri hanya tumbuh 3-4% dan sebagian besar perdagangannya masih informal, maka akan sulit,” katanya.

Oleh karena itu, ia menekankan bahwa investasi, industri, dan ekspor memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa depan. Ia juga memperingatkan bahwa deindustrialisasi dapat menimbulkan dampak negatif, seperti pengangguran, yang pada gilirannya dapat menimbulkan masalah-masalah sosial lainnya.
Yanuar Nugroho menyatakan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia sebenarnya telah membaik, tetapi ada tren negatif di awal tahun 2025.

Pengangguran struktural memiliki implikasi sosial antara lain kemiskinan, kesenjangan sosial yang semakin melebar, menurunnya kesejahteraan dan kualitas hidup, meningkatnya konflik sosial, dan dampak negatif lainnya.
Menurutnya, pemerintah harus menerapkan rekomendasi kebijakan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
“Dalam jangka pendek, kawasan industri dan infrastruktur pendukungnya perlu direvitalisasi.

Untuk jangka menengah, pendidikan vokasi harus dikembangkan, dan untuk jangka panjang, investasi di bidang riset dan inovasi industri menjadi sangat penting,” jelasnya.
Profesor M. Baiquni, Ketua Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (MDGB-PTNBH) masa bakti 2024-2025, mengatakan bahwa Kuliah Umum ini menjadi contoh bagaimana para akademisi dan guru besar menyumbangkan pemikiran untuk memberikan solusi bagi permasalahan bangsa melalui gerakan menggugah nurani bangsa.

“Harapannya, hal ini dapat mendorong diskusi yang lebih mendalam mengenai kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan di masa mendatang,” ujar sang guru besar.

Penulis Lazuardi

Penyunting: Afifudin Baliya Afifudin Baliya

Photog raph: Bisnis.com