Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 di Bawah Lensa

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 di Bawah Lensa

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 di Bawah Lensa

Liga335 – Tantangan Ekonomi
Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan yang dapat menghambat target pertumbuhan ekonomi di tahun 2025. Menurut Anton, rasio output modal inkremental (incremental capital output ratio/ICOR) Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ICOR Indonesia sebesar 6,33% pada tahun 2023.

Sebagai perbandingan, tingkat ICOR Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina jauh lebih rendah, masing-masing sebesar 4,5%, 4,4%, 4,6%, dan 3,7%, menurut CNBC Indonesia.
ICOR adalah parameter kunci untuk menilai efisiensi investasi suatu negara. ICOR membantu pemerintah mengukur investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tertentu.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMS ini menjelaskan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, Indonesia membutuhkan investasi sebesar 7%. Sementara itu, negara-negara ASEAN lainnya hanya membutuhkan investasi 3% hingga 4% untuk tingkat pertumbuhan yang sama. “Kalau kita butuh tujuh kali lipat modal hanya untuk mencapai pertumbuhan 1%, itu menandakan adanya inefisiensi,” katanya.

tegasnya.
Inefisiensi ini, lanjutnya, terkait erat dengan ketimpangan pendapatan di Indonesia. Laporan BPS bulan Maret 2024 menyoroti masalah ini, dengan koefisien Gini Indonesia tercatat sebesar 0,379.

Rasio Gini adalah indeks yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan, mulai dari nol hingga satu. Semakin dekat rasionya dengan satu, semakin tinggi ketimpangannya. Menurut Anton, rasio gini Indonesia relatif tinggi, mendekati 0,4.

“Sebagai gambaran, gabungan kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan total kekayaan seribu orang Indonesia,” jelasnya.
Baca selengkapnya: Kesengsaraan Deflasi: Sebuah Sinyal Kelesuan Ekonomi
Ketimpangan ini semakin dipertegas oleh data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada bulan Juli 2024, yang mengungkapkan bahwa sekitar 580 juta penabung, atau 98,9% dari populasi Indonesia, memiliki simpanan kurang dari Rp 100 juta. “Hal ini jelas menggambarkan ketimpangan yang signifikan,” tambah Anton.

Selain kesenjangan pendapatan, tantangan utama lainnya terletak pada kebocoran anggaran. Penelitian dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), sebagaimana dikutip oleh Suara, mengungkapkan bahwa hingga 40% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia hilang karena korupsi setiap tahunnya.
Selain itu, Tempo melaporkan bahwa Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat total kerugian negara akibat korupsi pada tahun 2023 sebesar Rp 56 triliun dan hanya Rp 7,3 triliun yang berhasil dikembalikan oleh pemerintah.

Anton menekankan bahwa korupsi oleh pejabat pemerintah merupakan faktor utama penyebab stagnasi ekonomi dan mengganggu iklim investasi. Penyuapan, khususnya, menghalangi calon investor, membuat mereka ragu-ragu untuk menanamkan modal di Indonesia. “Biaya investasi tinggi, dan di atas semua itu, pelayanan menjadi lambat,” katanya.

Mengenai faktor global dan potensi perang dagang kedua antara Amerika Serikat dan Cina, Anton percaya bahwa Indonesia tidak akan mengalami dampak langsung yang signifikan. Sebaliknya, fokus yang harus dilakukan adalah meningkatkan daya beli domestik untuk memperkuat ekonomi. omy.

Anton menyarankan salah satu strategi untuk meningkatkan perekonomian Indonesia adalah dengan mengurangi ketergantungan pada barang impor. “Ketergantungan kita terhadap impor sangat tinggi,” tegasnya. Masalah ini diperparah dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan No.

8 tahun 2024 yang melonggarkan kebijakan impor.
Menurut Tirto, peraturan ini memungkinkan impor berbagai komoditas yang lebih mudah, termasuk baja, tekstil, produk kimia, dan elektronik. Akibatnya, banyak industri dalam negeri yang terpukul, bahkan ada yang runtuh di bawah tekanan persaingan yang semakin ketat dari barang-barang impor.

Salah satu sektor yang paling terpukul adalah industri tekstil, yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Krisis ini memuncak dengan bangkrutnya PT Sri Rejeki Isman, konglomerat tekstil terbesar di Asia Tenggara, yang menyebabkan puluhan ribu pekerja terancam kehilangan mata pencaharian.
“Jika kita dapat mengurangi ketergantungan kita pada impor dengan mengembangkan industri substitusi impor, kita dapat mengurangi dampak krisis ekonomi global.

tabilitas,” saran Anton.