Psikolog: Pengajaran yang Lembut Menghadirkan Rasa Aman, Kunci Utama Perkembangan Emosi dan Kognitif Anak

JAKARTA, (delapantoto) — Psikolog anak dan pendidikan menekankan bahwa metode pengajaran yang lembut (gentle parenting) bukan hanya sekadar tren, tetapi merupakan kebutuhan mendasar yang secara ilmiah terbukti menghadirkan rasa aman pada anak. Rasa aman ini, menurut pakar, adalah fondasi utama yang menentukan perkembangan emosi, kognitif, dan kemampuan adaptasi sosial anak di masa depan.

Pernyataan ini muncul di tengah perdebatan publik mengenai metode disiplin dan pengasuhan anak yang kerap menggunakan kekerasan verbal atau fisik.


I. Pentingnya Rasa Aman sebagai Fondasi Perkembangan

 

Psikolog Klinis Anak, Dr. Mira Hidayati, M.Psi., menjelaskan bahwa otak anak-anak berkembang paling baik dalam lingkungan yang mendukung dan bebas dari ancaman.

  • Fungsi Otak dan Stress Response: Ketika anak diajarkan atau didisiplinkan dengan cara yang keras (bentakan, ancaman, atau hukuman fisik), otak anak mengaktifkan sistem fight-or-flight (respons stres). Hormon stres seperti kortisol dilepaskan, yang justru menghambat kemampuan anak untuk belajar, bernalar, dan mengingat.

  • Perkembangan Emosi: Pengajaran yang lembut, yang mengedepankan komunikasi efektif dan empati, menciptakan ikatan aman (secure attachment) antara anak dan orang tua/guru. Ikatan aman ini membuat anak merasa dihargai, divalidasi emosinya, dan berani mencoba hal baru tanpa takut gagal atau dihakimi.

  • Belajar dari Kesalahan: Dalam lingkungan yang aman, anak melihat kesalahan sebagai kesempatan untuk belajar, bukan sebagai sumber hukuman. Hal ini mendorong kemampuan problem-solving yang lebih baik.

“Rasa aman adalah nutrisi bagi otak anak. Ketika rasa aman terpenuhi melalui pengajaran yang lembut, anak akan mengoptimalkan fungsi lobus frontal, yang bertanggung jawab atas penalaran, perencanaan, dan regulasi emosi,” jelas Dr. Mira.

II. Prinsip Utama Pengajaran yang Lembut

 

Pengajaran yang lembut tidak berarti tanpa aturan, melainkan disiplin yang diberikan dengan pemahaman dan batas yang jelas:

  1. Validasi Emosi: Mengakui dan menamai emosi anak (misalnya, “Ibu tahu kamu marah/sedih”) sebelum memberikan solusi atau konsekuensi.

  2. Batasan yang Jelas: Memberikan batasan yang konsisten dan tegas, namun disampaikan dengan nada suara yang tenang dan penuh hormat, bukan ancaman.

  3. Mengajarkan Solusi: Ketika anak berbuat salah, fokusnya adalah membantu anak memahami konsekuensi perbuatannya dan mencari solusi untuk memperbaiki kesalahan tersebut, bukan sekadar menghukum.

Psikolog mengimbau para orang tua dan tenaga pendidik untuk mengubah perspektif bahwa disiplin harus dilakukan dengan rasa takut. Disiplin yang efektif justru dibangun di atas rasa hormat dan aman.