Indonesia Pertimbangkan Pengenaan Cukai Popok dan Tisu Basah
Liga335 daftar, situs judi bola, situs sbobet – TEMPO Interaktif, Jakarta – Kementerian Keuangan tengah menjajaki pengenaan tarif cukai untuk popok dan tisu basah, yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029. Peraturan tersebut ditandatangani oleh Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, dan resmi diundangkan pada tanggal 3 November 2025, sebagai bagian dari upaya optimalisasi penerimaan negara. “Penggalian potensi penerimaan dari perluasan pajak, kepabeanan, dan cukai, serta pemetaan potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dilakukan melalui penyusunan kajian potensi Barang Kena Cukai berupa popok, alat makan dan minum sekali pakai, dan kajian perluasan tarif cukai terhadap tisu basah,” dikutip dari draf PMK tersebut, Jumat (7/11).
Selain itu, Kementerian Keuangan juga berencana untuk memperluas basis pendapatan melalui usulan untuk menaikkan batas atas Pungutan Ekspor Kelapa Sawit. Sebelumnya, sebuah dokumen dari Kementerian ublikasi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kementerian Keuangan yang diterbitkan pada Agustus 2021 secara eksplisit membahas potensi cukai popok. Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa rencana tersebut pertama kali mencuat ketika Komisi XI DPR RI memberikan persetujuan kepada pemerintah untuk memperluas basis pajak dengan memasukkan produk plastik.
Pemerintah diminta untuk menyiapkan peta jalan untuk perluasan tersebut. Popok sekali pakai merupakan salah satu produk plastik yang banyak mencemari lingkungan, karena komponennya antara lain pulp sintetis, polychlorinated dibenzodioxins, gel asam poliakrilat yang sangat mudah menyerap air, dan plastik. Potensi pendapatan negara dari penerapan tarif popok, berdasarkan penjualan popok dan populasi bayi pada saat itu, diprediksi mencapai Rp1,32 triliun.
Cukai adalah pungutan objektif yang dikenakan terhadap produk-produk tertentu yang memiliki satu atau beberapa karakteristik atau sifat, yaitu konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu dipantau, dan penggunaannya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat atau lingkungan.